Hukuman, Pintu Bullying dari Guru Di Sekolah
Di sebuah lembaga pesantren, diadakan kegiatan semacam diklat. Pesertanya adalah santri-santri yang akan dipersiapkan untuk menjadi pengurus asrama dan organisasi tingkat siswa dengan sistim pengawasan, pembinaan dan disiplin sehari hari selama 24 jam.
Selama kegiatan yang berbentuk simulasi itu berlangsung, peserta diminta mensimulasikan proses rapat persidangan organisasi untuk memilih calon ketua angkatan. Tujuan dari kegiatan ini adalah melatih para santri untuk memiliki kemampuan dalam menyampaikan pendapat, berbicara sebagaimana mestinya dalam rapat yang formal, mampu berargumen yang baik, jeli membaca aturan dan melaksanakannya, mampu bertindak layaknya seorang pemimpin sidang dan juga anggota presidium secara “kaaffah”, juga melaksanakan rangkaian persidangan sesuai teknis persidangan formal secara komprehensif, lengkap dengan penggunaan istilah-istilah persidangan di organisasi kampus atau dewan legislatif. Malah secara fakta di dewan legislatif banyak tidak menggunakan istilah istilah itu secara detail dan formil.
Alih-alih tujuan itu bisa tercapai sesuai harapan, dan kemudian memunculkan sosok-sosok pengurus yang handal berdialektika dan berargumen serta percaya diri dalam menjalankan roda organisasi, malah proses kegiatan simulasi itu mencerminkan sebuah arena “presure” oleh pembimbing (guru) terhadap peserta sidang (santri). Arena pelatihan berubah menjadi arena “bullying”. Pembimbing dengan sengaja mencari-cari kesalahan dari apa yang dikatakan, dilakukan dan dipahami oleh presidium sidang tentang berbagai teknis prosedural, baik tulisan yang salah ketik, ataupun sengaja disajikan dengan salah. Untuk apa? Konon itu katanya “biar mereka belajar”.
Bagaimana seharusnya siswa belajar?
Belajar adalah sebuah proses mencapai pengetahuan tentang sesuatu lewat mengindera, mengalami. Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Secara anatomi, bagian tubuh kita yang melakukan proses belajar pertama kali adalah otak. Dalam urusan ini otak terdiri dari tiga bagian; brain stem (batang otak), cerebral, atau neocortex (otak intelektual), dan sistim limbik (otak emosi).
Otak memproses beberapa aktivitas dalam waktu yang bersamaan. Misalnya saat makan, otak memproses kegiatan mulut untuk mengunyah, lidah untuk merasakan, dan hidung untuk mencium bau makanan. Otak memproses informasi secara keseluruhan dan secara bagian per bagian dalam waktu bersamaan (simultan). Misalnya saat belajar sepeda, aspek motorik, akademik, dan emosi anak terlibat secara simultan. Akibatnya anak lebih cepat menguasai daripada hanya dengan teori saja yang hanya melibatkan aspek akademik alias kognitif saja. Proses belajar melibatkan seluruh aspek fisiologi manusia. Secara alami otak selalu mencari makna dalam informasi yang diterimanya. Otak memproses lebih lanjut informasi yang bermakna dan mengabaikan informasi yang tidak bermakna.
Perlu diketahui bahwa emosi sangat mempengaruhi otak bekerja dalam menangkap informasi, atau merespons informasi. Emosi mempengaruhi seorang anak belajar pengetahuan. Karena ketika anak merasa takut dan tertekan, maka yang dominan bekerja dari otaknya adalah brain stem (batang otak). Batang otak disebut juga dengan istilah otak reptil. Ilustrasi ini menggambarkan bahwa ketika anak merasa tertekan, terancam, maka yang bereaksi adalah ia “melawan”, atau ia “melarikan diri”. Jadi proses belajar tidaklah akan optimal, bahkan akan menjadi sebuah keadaan dan waktu yang menyiksa, tatkala emosinya negatif. Emosi negatif ini bisa jadi seperti, marah, sedih, takut, kesal, malu, bersalah. Kita bisa bayangkan, mana mungkin otak bisa menyerap informasi (belajar) dengan baik sementara kondisi emosinya negatif.
Pada cerita tentang pelatihan simulasi persidangan di atas, saya berpendapat bahwa para santri tidak akan bisa memahami materi simulasi dengan baik, bahkan bisa jadi ada traumatik dan penurunan kepercayaan diri, atas perlakuan pembimbing pelatihan dengan cara menekan memaksa, dan menghukum secara verbal, yaitu membentak atau mempermalukannya di hadapan teman-temannya. Walhasil, ‘the process that happened, was the first experience of formal bullying in the name of personal confidence training.’
Mengapa bullying terjadi di sekolah?
Salah satu penyebabnya adalah guru lebih mengutamakan punishment daripada proses lainnya serti self evaluation atau menumbuhkan pola komunikasi positif diantara murid.
Hal penting yang perlu dipahami guru dalam mendidik anak adalah tentang pola yang dibiasakan dalam menangani setiap permasalahan. Lingkungan sekolah, aturan kelas, sikap guru, adalah model dan buku pelajaran utama untuk rujukan pertumbuhan perilaku.
Hukuman, barangkali dianggap bagian penting untuk menegakkan aturan dan disiplin. Hukuman bisa jadi efektif untuk membuat anak mau melaksanakan perintah, mau mengerjakan tugas tepat waktu. Karena mereka tau bahwa jika perintah tidak dilaksanakan, tugas tidak selesai tepat waktu, ia akan menanggung perasaan yang tidak enak, atau suasana yang tidak nyaman, atau perasaan yang sakit, atau bahkan mengalami penderitaan fisik.
Hukuman tidak mengubah kecenderungan dalam perilaku anak yang dihukum. Sebaliknya, itu membuat seorang anak ingin menghindari sumber hukuman. Segera setelah anak berpikir ia tidak diawasi, ia akan mengulangi kesalahan yang pernah dilakukannya. Ia akan tetap menunda penyelesaian tugas saat guru tidak menentukan aturan.
Anak-anak yang dihukum sesungguhnya akan melakukan perbuatan itu kembali bilamana suasana atau kontrol dari orang dewasa tidak ada. Karena ia tidak memiliki motivasi secara internal. Hukuman memang bisa efektif menghentikan pelanggaran, menimbulkan kejeraan. Namun tidak untuk jangka panjang. Efek dari hukuman lebih banyak membuat anak cenderung merasa frustasi, merasa rendah diri. Dan di saat yang sama ia belajar tentang kekerasan dan dendam.
Sikap frustasi akibat hukuman membuka peluang bagi anak menyimpan perasaan bersalah untuk jangka panjang. Dan itu menjadikannya punya pengalaman tidak menyengkan. Ia akan terakumulasi menjadi banyak hal yang menyebabkan perilaku membully orang lain. intimidasi dapat menyebabkan masalah mulai dari kurangnya kontrol impuls dan masalah kemarahan hingga balas dendam dan keinginan untuk menyesuaikan diri.
Berikut adalah diantara alasan utama mengapa anak-anak membully temannya;
Perasaan berkuasa
Anak-anak yang ingin memegang kendali atau memiliki kekuatan cenderung punya keinginan membully. Mereka hanya berinteraksi dengan orang lain ketika itu sesuai dengan persyaratan mereka. Jika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka, maka mereka terpaksa melakukan intimidasi.
Kepopuleran
Terkadang tindakan bullying dapat menjadi manifestasi status sosial. Anak-anak yang populer sering mengolok-olok anak-anak yang kurang populer dengan mengabadikan agresi relasional dan perilaku yang kejam. Popularitas juga dapat membuat anak-anak menyebarkan desas-desus dan gosip, terlibat dalam mempermalukan dan mengucilkan orang lain. Sementara itu, anak-anak yang mencoba menaiki tangga sosial di sekolah atau mendapatkan kekuatan sosial sering menggunakan bullying, intimidasi seksual atau cyberbullying untuk mendapatkan perhatian. Mereka juga mungkin menyepelekan orang lain melalui satus sosialnya.
Balas dendam
Ada kecenderungan bagi beberapa remaja yang telah menjadi korban bullying untuk mencari cara membalas dendam. Anak-anak ini sering disebut sebagai korban bully, dan mereka sering merasa dibenarkan dalam tindakan mereka karena mereka juga telah dilecehkan dan disiksa. Ketika mereka mengancam orang lain, mereka mungkin merasakan kelegaan dan pembenaran atas apa yang mereka alami. Terkadang anak-anak ini menargetkan seseorang yang lebih lemah atau lebih rentan daripada mereka. Di lain waktu, mereka bahkan akan mengejar pelaku intimidasi secara langsung. Dan anak-anak dengan harga diri rendah dapat menggunakan bullying sebagai cara untuk menutupi rasa harga diri yang rendah. Penindasan saudara kandung juga dapat menyebabkan penindasan di sekolah. Ketika seorang saudara lelaki atau perempuan yang lebih tua mengejek dan menyiksa saudara yang lebih muda, ini menciptakan perasaan tidak berdaya. Untuk mendapatkan kembali perasaan berkuasa itu, anak-anak ini kemudian membully orang lain kadang-kadang bahkan meniru saudaranya yang lebih tua.
Kesenangan
Anak-anak yang bosan dan mencari hiburan kadang-kadang akan menggunakan bullying untuk menambah kegembiraan dan drama dalam kehidupan mereka yang membosankan. Mereka juga mungkin memilih untuk mengintimidasi karena mereka kurang perhatian dan pengawasan dari orang tua. Akibatnya, intimidasi menjadi jalan keluar untuk mendapatkan perhatian. Sementara itu, anak-anak yang kurang empati sering menikmati menyakiti perasaan orang lain. Mereka tidak hanya menghargai perasaan kekuasaan yang mereka dapatkan dari mengintimidasi orang lain, tetapi mereka mungkin menganggap “lelucon” yang menyakitkan itu lucu.
Jadi, bila guru tetap menjadikan hukuman dan kekerasan sebagai jalan pintas menghentikan pelanggaran, sikap “nakal” akibat ketidakdisiplinan, maka tanpa disadari, guru sedang membuka jalan atau pintu untuk menghadirkan tindakan bullying di kemudian hari.
[BungRam-Nov-30-20]
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.
Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!