Kompetisi Pelajaran Sekolah, Jalan Gelap Masa Depan Siswa

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Kompetisi Pelajaran Sekolah, Jalan Gelap Masa Depan Siswa

Sekelompok siswa yang sudah dipilih oleh guru mereka mengikuti perhelatan lomba mata pelajaran agama Islam, termasuk di dalamnya ada serangkaian lomba berkenaan dengan bacaan dan hafalan al Quran. Kegiatan diadakan di satu kota di mana penyelenggara mengundang berbagai sekolah di sekitar wilayah kota tersebut untuk mengikuti perlombaan.

Sepulang dari lomba saya bertanya kepada salah satu pendamping peserta lomba di satu sekolah, “bagaimana hasil lombanya?”, “tidak menjadi juara pa, berat para pesaingnya”. Jawab sang pendamping. “Memang dari mana saja sekolah yang mengikuti lomba tersebut?” Lanjut saya. “Dari berbagai kota sih, pesertanya sangat banyak”. Sambung guru pendamping tersebut.

Saya mencoba mendalami psikologi anak-anak para peserta lomba dari persepektif  konsep persaingan dan tujuan pendidikan sebagai dua hal yang bersifat kontradiktif, bahkan cenderung destruktif.

Dari lomba lari hingga hingga lomba mewarnai, dari lomba menyanyi hingga lomba menghafal al Quran, dalam koridor pendidikan, atau dilaksanakan pada atau antar satuan pendidikan akan menampakkan dan menciptakan atmosfer persaingan. Aktifitas tersebut pada ujungnya akan memilah antara the winner and the looser.

Sudah cukup lama sistem pendidikan kita memiliki konsep dan kultur yang mendorong meluasnya area dan cakupan yang menghadirkan atmosfer persaingan, mostly it was tend to be full of pressure and cunning.

Mengutip tulisan Cath Bishop yang menjelaskan mengapa melihat pendidikan melalui prisma persaingan, lengkap dengan pemenang dan pecundang, pada akhirnya tidak membantu siapa pun;

Perasaan perlu untuk menang dan mengalahkan orang-orang di sekitar kita biasanya dimulai sejak dini, dengan orang tua, guru, dan pelatih yang semuanya memuji kebaikan kemenangan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Anak-anak yang menjadi juara dihargai dan dipuji ketika melakukannya dengan baik dalam lomba, dalam kompetisi keterampilan, dan dalam ujian sekolah. Mereka yang menjadi juara kelas diberikan penghargaan dalam ruang pertemuan atau selebrasi kelulusan.

Siswa bersaing dengan rekan-rekan mereka untuk siapa yang bisa mendapatkan nilai tertinggi. Bisa jadi, masalah kesehatan, kebahagiaan, kebaikan, dan kerjasama  hanya dianggap opsional. Paling buruk, mereka didorong untuk secara aktif menghindari kerjasama (dalam ujian) – karena kerjasama dapat dengan mudah disalahartikan sebagai ketidakmandirian atau bahkan kecurangan.

Dalam beberapa pengalaman yang saya amati perihal ajang kompetisi akademik antar sekolah ini, saya melihat bahwa sekolah cenderung menempatkan glorifikasi kemenangan, baik antar siswa maupun antar sekolah sebagai sebuah prestige, yang dikonotasikan sebagai prestasi, baik untuk individu siswa maupun untuk atas nama lembaga. Simbol prestasi akan dijadikan protofolio sekolah yang mengindikasikan suatu keunggulan.

Bahkan banyak sekolah yang “hobi” mengoleksi piala juara lomba di lemari etalase ruang tamu atau frontoffice, juga di ruang kepala sekolahnya untuk menunjukkan bahwa sekolahnya “berprestasi”. Padahal bisa jadi prestasi sekolah yang sesunggunya, yaitu mewujudkan tujuan pendidikannya tercapai bagi semua siswanya yang pernah bersekolah di lembaga tersebut kurang menjadi perhatian.

Kalangan yang pro kegiatan kompetisi akademik semacam lomba cerdas cermat, lomba menghafal, lomba mewarnai dan berbagai lomba lainnya yang mengedepankan pola kerja bersaing untuk “mengalahkan” pesaing, berpandangan bahwa itu sebagai motivasi belajar, latihan kemampuan bekerja keras untuk menghadapi berbagai tantangan.

Tapi sesungguhnya mereka tidak menyadari di kemudian hari bahwa para pemenang bukanlah orang yang selalu juara dalam persaingan. Murid-murid sekolah yang ditekan dengan tekanan untuk berkompetisi tidaklah serta merta akan menjadi orang yang mumpuni di bidang yang ia juarai dalam berkompetisi, bahkan dalam kehidupan yang nyata perilaku berkompetisi melahirkan sikap egois, dan cenderung korup untuk menghasilkan tujuan dengan menghalalkan berbagai cara.

Para siswa “tidak terpilih”, sejak awal pengalaman belajarnya di sekolah terpaksa menikmati posisi bukan murid unggul dan berprestasi. Karena sekolah hanya ingin mengukir nama-nama mereka dan foto mereka yang menang, di etalase “dagangannya” untuk mendulang predikat sekolah berprestasi!

Tujuan pendidikan dan orang berprestasi

Menekankan persaingan dalam pendidikan memberi tekanan besar pada harga diri siswa. Hasrat untuk menjadi lebih baik dari orang lain sangat berbeda dengan hasrat untuk berbuat baik.

Pendidikan dan lembaga pendidikan adalah medium untuk menumbuhkan dan juga sekaligus mengkalibrasi keunggulan yang bersifat komprehensif, diferensiasi dan multi proses. Menginkubasi berbagai potensi dan kompetensi yang harus dicapai oleh setiap siswa untuk menjadi orang berprestasi secara individu di bidangnya masing-masing.

Kemudian lembaga pendidikan menancapkan pancangnya dengan tujuan-tujuan yang mulia, relevan serta kontekstual dengan perkembangan zaman. Bukan mengeliminir kesempatan dan peluang setiap anak dengan model belajar bersaing, berkompetisi untuk satu keunggulan yang ditarik-tarik  berbagai individu lewat ajang lomba.

Jadi yang ingin saya garisbawahi dalam cerita pendampingan lomba antar sekolah di tiga paragraf awal tulisan ini adalah bahwa lembaga pendidikan bukanlah pencetak para juara lomba, dalam bidang apapun!  Janganlah para guru terjebak menjadi promotor munculnya klasifikasi peserta didik dengan motif keunggulan satu bidang untuk sekelompok kecil siswa yang dipilih, motif berprestasi, dan bahkan terjebak sekedar menyumbang point bagi lembaga sekolahnya agar memiliki ‘prestige’ yang absurd. Sementara para siswa yang tidak terpilih hanya “pelengkap” data peserta didik di catatan dapodik. Lebih miris lagi para guru pendamping tidak pernah diproyeksikan sebagai bagian dari kesuksesan lembaga sekolah, karena diposisikan sebagai “karyawan” seperti di lembaga industri.  Tujuan pendidikan bukanlah untuk hal itu.

Saya ingin menyampaikan pertanyaan berikut; Apa yang esensial dari juara lomba cerdas cermat? Apa yang penting untuk kehidupan masa depan dari ajang lomba menghafal al Quran? Apa yang mesti para guru pendamping itu lakukan untuk anak-anak yang sedang belajar agama Islam dan menghafal Quran di sekolahnya?  Yang jelas bukan untuk menang lomba! Apalagi untuk menambah koleksi piala lembaga.

Saat ini tantangan bagi anak-anak kita jauh berbeda dengan zaman di mana ambisi para pemilik industri dan penguasa birokrasi dua puluh atau lima puluh tahun yang lalu berharap banyak dari output dan lulusan lembaga sekolah.

Karena kelas lulusan kita cenderung diorientasikan menjadi “kelas pekerja”. Sistem pendidikan kita terjebak dengan permainan global yang memiliki sumber daya alam minim dan angka jumlah penduduk semakin bertambah.

Konsekwensilogisnya adalah pola kompetisi dan ekslusivitas orang berprestasi ditempatkan dalam layer paling atas. Ada kelas pekerja dan kelas penguasa yang dihasilkan dari sistem pendidikan yang berpihak pada pemenang kompetisi.

Tantangan yang akan dihadapi anak-anak kita dua puluh tahun mendatang adalah era di mana akal dan hati manusia bersaing ketat dengan artificial intelligence – kecerdasan buatan (manusia sendiri). Pendidikan agama adalah penanaman nilai spitiual yang subtantif, yang tidak akan berubah sepanjang masa, Karena AI tidak memiliki nilai spiritual. Pendidikan pengetahuan dan keterampilan adalah optimalisasi berbagai hal yang genuine dari kodrat serta potensi manusia yang tidak ada batasnya. Sementara AI ada batasnya. Oleh karena itu ubahlah mindset Anda sebagai guru tentang pembelajaran dan kegiatan di sekolah.

Catatan Cath Bishop Tentang 3 “C”

Cath Bishok dalam bukunya The Long Win , mengusulkan untuk mengkalibrasi ulang seperti apa kesuksesan itu, dan mendefinisikan kembali kemenangan melalui ‘tiga C’: ‘Clarity’, ‘Constant learning’ and ‘Connection’ –  kejelasan, pembelajaran yang konstan dan koneksi.

Menurutnya, daya pikat dari seuatu yang  jangka pendek harus dibandingkan dengan hasil jangka panjang dari pendidikan yang merupakan bagian dari proses pembelajaran seumur hidup.

Pola pikir ‘Belajar Terus-Menerus’ mengatur siswa untuk proses pertumbuhan pribadi yang berkelanjutan, daripada yang dianggap selesai setelah ujian. Penekanan Pembelajaran Konstan pada penguasaan atas capaian membantu menciptakan ketahanan dan mengasah kemampuan siswa dalam beradaptasi ketika mendapati hal-hal tidak berjalan sesuai rencana.

Memprioritaskan hubungan manusia di seluruh sistem pendidikan akan membantu menciptakan warga negara yang siap untuk berkontribusi pada masyarakat, membangun dan bergabung dengan komunitas, serta mencari peluang untuk kerja sama dan kolaborasi.

Tantangan masa depan yang akan dihadapi generasi muda bukanlah tantangan yang bisa ‘dimenangkan’. Dari perubahan iklim hingga ketidaksetaraan global, dari keamanan internasional hingga kesehatan global, ini semua adalah area yang membutuhkan tanggapan kolektif jangka panjang.

Bagaimana kita mendefinisikan kesuksesan di sekolah akan membentuk pola pikir dan perilaku siswa selama sisa hidup mereka.

Mengevaluasi kembali arti ‘menang’ di sekolah bukanlah tentang membatasi berbagai keinginan, ambisi; ini tentang menciptakan lingkungan yang memperluas kemungkinan bagi semua anak, di mana kita dapat mengembangkan kompetensi  siswa yang lebih beragam secara kognitif, dan memperluas cakupan potensi kontribusi mereka kepada masyarakat sebagai orang dewasa.

Ada manfaat kesehatan mental yang signifikan yang bisa didapat dari bekerja secara  kolaboratif dan saling membantu di sekolah, daripada belajar dengan penuh persaingan untuk menjadi yang terbaik. Riset ekstensif dalam bidang ini oleh psikolog Terry Orlick menyimpulkan bahwa ‘Pengalaman dalam kerja sama manusia adalah bahan yang paling penting untuk perkembangan kesehatan psikologis.’

Memeringkat siswa dan saling bersaing satu sama lain lebih jauh bertentangan dengan proses belajar dan tujuan pendidikan, seperti bagaimana berkolaborasi dan bekerjasama dengan teman sebaya, bagaimana belajar menghargai dan menghormati perbedaan, bagaimana melahirkan karya bersama untuk kebaikan. Itulah hal yang tepat pada saat kaum muda akan mengembangkan keterampilan dan kesadaran sosial yang penting di masa depan.  [Ram-13022023]

Bagikan supaya bermanfaat

Bagaimana mengajarkan anak untuk memiliki Growth Mindset?

Explore

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *