Peristiwa Isra Mi’raj sebagai peristiwa yang perlu kita pahami sebagai peristiwa fisik dan sekaligus metafisik, natural juga supra natural. Ia dalam bahasa kekuasaan Allah adalah sebuah mu’jizat,
Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad diperingati setiap tahun sebagai momentum introspeksi dalam banyak hal. Mulai dari pesan moral perjalanan di malam hari nabi yang mulia dari Mekah (masjid al Haram) ke Yerusalem (masjid al Aqsa), berbagai peristiwa yang mengiringinya, cerita dialog nabi dengan para anbiya, naik ke sidratul muntaha, hingga tantangan sosial yang dihadapi pasca perjalanan di malam hari tersebut.
Secara sosial, peristiwa Isra Mi’raj menjadi satu bagian penting dalam rangkaian perjuangan dan dakwah nabi Muhammad SAW. Bagaimana tidak, tantangan berat nabi dalam mentransformasikan ajaran Tauhid di tengah-tengah kaum kafir Quraisy yang sebagian besar menganut pola hidup dan pola pikir jahiliyyah akan lebih berat sepeninggal dua orang pendamping nabi dalam memulai misi risalah tersebut.
Peristiwa Isra Mi’raj sarat akan makna simbolik. Dalam kehidupan sosial, simbol begitu penting dan keterikatannya dalam budaya juga amat berarti. Tentu jelas sulit menerima kabar mengenai perjalanan nabi dalam satu malam yang menempuh jarak kurang lebih 1500 km. Kemudian disusul menuju langit (sidratul muntaha), yang dalam pikiran masyarakat Arab adalah semacam “bualan” dari mimpi sang nabi.
Tetapi kekuatan spiritual dan kemuliaan sisi manusia dari nabi adalah magnet tersendiri. Kemampuan nabi menjelaskan sebuah pengalaman “irasional” namun dapat dijabarkan secara faktual adalah hal menarik yang mampu meyakinkan orang-orang seperti Abu Bakar, tentang pengalaman perjalanan di malam Isra Mi’raj tersebut. Peristiwa sakral seperti Isra Mi’raj, meminjam istilah sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, menjadi sens pratique (akal praktis), capital symbolique (modal simbolis) dan incoper incorporation (peresapan dalam tubuh). Secara akal praktis, Isra Miraj membuat nabi Muhammad SAW memiliki bekal dalam mengendalikan umat, saat itu dan setelahnya.
Melalui modal simbolis, peristiwa tersebut membangkitkan daya spiritual dan membuat seseorang menjadi besar dalam peran sosialnya. Dan hingga kinipun, peranan simbol dalam spiritualitas memiliki kohesi yang kuat dalam kehidupan sosial, dan untuk mengatasi krisis kemanusiaan. Sebagaimana yang dialami dan dilakukan oleh nabi Muhammad SAW setelah peristiwa besar tersebut.

Source: https://i.ytimg.com/vi/XoWWSeQO4GM/maxresdefault.jpg
Kemudian, tentu kita yang hidup di zaman jauh setelah nabi, bisa mengembangkannya dalam spektrum yang lebih luas lagi, untuk menapaki jalan-jalan spiritual yang sifatnya mampu memberikan pencerahan teologis – religius di tengah krisis kemanusiaan.
Secara konsepsi pengetahuan dan aspek progresifitas peradaban manusia, dalam hal ini umat Islam di seluruh belahan dunia. Peristiwa Isra Mi’raj tentu sebaiknya mulai dilihat dari sisi yang lebih kreatif dan sarat akan prinsip semangat belajar dalam bidang sains dan teknologi. Bukan sekedar peringatan seremonial dan retorik.
Pesan untuk bergerak membarui kompetensi
Bagi saya, momentum Isra Mi’raj hendaknya semakin mengajak kita berpikir lebih maju dan inovatif. Semangat agama Islam sebagai agama yang mengintegrasikan aspek spiritual dan rasional dalam kehidupan nyata, harus terus memberikan ruang terbuka dan inklusif bagi pengembangan peradaban manusia.
Perdebatan tentang perjalanan nabi Muhammad SAW dari Mekkah (Masjidil Haram) ke Yerussalem (Masjidil Aqsha) apakah secara fisik atau metafisik kini bukan hal yang relevan lagi. Mengapa? Sains menantang kita untuk sedikit saja memaksimalkan kemampuan otak menjangkaunya. Karena Allah Maha luas IlmuNya, dan sangat sedikit yang baru dieksplorasi oleh kemampuan otak kita yang tidak terbatas ini.
Tengoklah teori ‘Kondensasi Bose – Einstein’, yang pernah diuji oleh tim National Institutes of Standard and Technology universitas Colorado, di akhir abad ke-20, di mana fisika quantum memberikan fasilitas yang nyata untuk pembuktian salah satu tanda Kebesaran Allah lewat peristiwa Isra Mi’raj itu
Rasulullah adalah orang pertama, yang dengan izin dan kekuasaan-Nya, seperti dalam redaksi ayat kesatu surat al Isra tersebut, “asraa bi’abdihi”, adalah kehendak Allah SWT yang di luar hukum alam manusia, atau di luar kausalitas alam kehambaan (manusia/Muhammad). Dan itu sudah disebutkan dengan redaksi kalimat ‘tanziih’, - subhaana - atau kalimat yang membebaskan ZatNya sebagai di luar batas jangkauan makhluq.
Maka peristiwa Isra Mi’raj sebagai peristiwa yang perlu kita pahami sebagai peristiwa fisik dan sekaligus metafisik, natural juga supra natural. Ia dalam bahasa kekuasaan Allah adalah sebuah mu’jizat, tapi, ia juga harus jadi pertimbangan dan pelajaran dari ‘tanda-tanda kebesaran Allah’ di alam tak terbatas ini.
Jadi, teruslah menggaungkan mu’jizat Allah dalam berbagai peristiwa, dari sekedar cerita yang diulang-ulang secara retoris, menjadi sebuah gerakan kesadaran. Pesan perjalanan Isra adalah pesan untuk bergerak, kemampuan terus memperbaharui kompetensi dan anugerah Allah atas ciptaan luar biasa bernama manusia.
[BungRam-28022022]