#3 Tentang Merawat Konsistensi
Kultigraf #3 Tentang Merawat Konsistensi
Pagi ini saya melewati satu pertigaan jalan yang cukup ramai kendaraan dari tiga arah. Ada dua orang petugas lalu lintas yang mengatur arus kendaraan dan menata barier pembatas jalan agar kendaraan dari arah yang satu memutar terlebih dahulu sebelum menuju arah yang biasanya bisa langsung lurus. Sayangnya petugas yang standby tersebut tidak saya dapati berdiri setiap hari mengatur lalu lintas di pertigaan yang selalu ramai tanpa lampu merah. Mereka tidak bisa konsisten hadir mengatur lalu lintas, sebagaimana di banyak pertigaan atau perempatan jalan lainnya. Di beberapa kejadian lainpun saya menemukan sebagian orang sulit untuk membangun dan merawat sikap konsisten terhadap aturan yang dibuat atau disepakati; seseorang yang diminta berhenti kerja hanya karena dianggap menyinggung perasaan atasan di perusahaan tempat ia bekerja, bukan karena pelanggaran kerja. Seorang kepala unit usaha yang melakukan korupsi tetap di”pelihara” padahal jelas merugikan perusahaan, namun karena demi “keamanan” dan nama baik pimpinan, ia cukup dialih tugaskan saja. Yang terakhir ini adalah bentuk hubungan kerja yang membuat seseorang tidak mampu berpikir mandiri dan belajar menemukan cara menjalankan aturan dengan konsisten, karena atasan menjadikannya patuh dan kommit bukan kepada aturan, tapi kepada person yang memposisikan diri di atas aturan.
Jeremy Nicholson MSW, Ph.D. seorang doktor Psikologi Sosial/Kepribadian dan asisten profesor di The Chicago School of Professional Psychology, menyebutkan dalam satu tulisannya di situs psychologytoday.com, bahwa untuk menciptakan komitmen terhadap perbaikan kinerja seseorang, dibutuhkan konsistensi yang baik. Sikap konsisten memengaruhi komitmen individu melalui dua faktor; gaya berpikir, dan cara mereka diajak untuk berkomitmen. Menurut Jeremy, individu dalam sebuah organisasi yang mampu berpikir mandiri akan lebih mudah berkomitmen untuk konsisten terhadap segala aturan yang sudah dibuat dan disepakati. Kemudian pimpinan yang mampu melakukan komunikasi dengan baik, rasional, akan menjadikannya merasa positif, dan membuat mereka mau terlibat dalam pekerjaannya secara konsisten, bukan “bujukan” melalui permintaan tertentu.
Merawat konsistensi dalam tugas, dalam berkomitmen terhadap tanggungjawab atau menjalankan rutinitas, dibangun berdasarkan pemahaman yang benar atas tujuan, gagasan, produk yang diperjuangkan agar tumbuh dan berkembang. Konsistensi akan hancur seiring lunturnya sikap komitmen diri terhadap nilai. Nilai adalah tiangnya bangunan komitmen. Nilai yang diusung bersama atas dasar tujuan dan cita-cita besar dalam organisasi mendorong setiap individu tetap merasa positif menjalani apa yang seharunya ia lakukan, secara bertahap, kontinyu dan akhirnya menjadi sebuah sikap dan kultur konsistensi. Polisi lalu lintas bertugas menjadi konsisten mengatur arus kendaraan tatkala sistem kerja dan nilai institusi tumbuh dan berkembang menjadi nilai yang melekat terhadap personilnya. Karena lampu merahpun di perempatan jalan sering tidak dihargai oleh pengendara yang tidak memiliki kemampuan memahami nilai dan aturan di jalan raya. Etika dan aturan kerjapun sering dilabrak oleh pekerja bahkan oleh pimpinan/pemilik lembaga karena minimnya pemahaman atas nilai dan aturan lembaga yang menguatkan pribadinya untuk bersikap konsisten. [R-16012023]