Gibran, Gibran, dan Gibran
Dalam salah satu cuitan di ‘X’, seseorang yang selama ini dikenal pendukung dan “buzzer” Jokowi menuliskan cuitannya dengan narasi sebagai berikut;
“Dia dipuja sebagai “Grandmaster”. Sejak dulu kelihaiannya memainkan bidak catur politik dikenal mumpuni. Konon berhasil mengecoh lawan-lawannya tanpa bisa dideteksi. “Luka tak berdarah”, katanya. Kali ini kepiawaian itu dipakai untuk mengelabui kawan-kawannya dan melukai para pendukungnya sendiri. Rasain lu Bong!”
Dengan cuitannya itu, banyak komentar yang menggambarkan cemo’oh, ledekan, dan nyinyiran atas situasi yang dialaminya. Itu cukup menggelikan memang.
Bagaimana tidak, sosok lelaki yang sebelum ini dikenal pendukung Jokowi, selalu membela Jokowi, kini, karena munculnya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi yang masuk ke dalam bursa pilpres 2024 yang disebut-sebut akan menjadi calon wakil presiden Prabowo dalam koalisi Indonesia maju, menunjukkan rasa kekecewaannya yang dalam.
Dari narasi cuitan itu kita bisa memahami dengan jelas. Ia merasa ditipu, merasa ditikam dari belakang. Pasalnya arah kekuatan politik yang sedari awalnya terpusat pada satu kekuatan politik, mulai nampak menunjukkan perubahan arah kemudi ke jalan lain. Sebagian pengamat menyebutnya ini manuver politik. Ironis.
Gibran dan kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi
Menguatnya nama Gibran sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo setelah Mahkamah Konstitusi yang dipimpin paman Gibran, Anwar Usman, mengabulkan gugatan mahasiswa asal Surakarta terkait syarat usia capres-cawapres, di mana berdasarkan putusan tersebut, Gibran yang pernah menjabat kepala daerah, bisa mendaftar menjadi cawapres meskipun usianya belum 40 tahun, mengundang kritik, menuai anggapan bahwa itu adalah keptusan yang kontroversial.
Airlangga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga menyebutkan bahwa peristiwa politik ini (lolosnya Gibran dalam guguatan di Mahkamah Konstitusi) adalah sesuatu yang amat disayangkan karena memberikan efek buruk bagi demokrasi maupun kontestasi politik dalam banyak hal.
Dengan itu iapun menyoroti beberapa kontroversi jika nantinya Gibran benar-benar dicalonkan jadi cawapres Prabowo. Menurutnya, pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo adalah rangkaian yang tak dapat dipisahkan dari kontroversi politik putusan MK. Bahkan beberapa pakar hukum tata negara seperti Deny Indrayana saat dimintai pendapatnya mengenai putusan MK tersebut menyatakan tidak sah atas nama hukum.
Gibran menjadi satu-satunya pemuda bangsa ini yang “diuntungkan” dengan keadaan politik. Ketika partai Golkar mendeklarasikan Gibran sebagai cawapresnya Prabowo kemarin 21 Oktober 2023. Gibran memperkuat anggapan publik yang memperkirakan sebelumnya bahwa Golkar tidak akan mengusung Eric Tohir yang sebelum ini juga ramai disebut sebagai cawapres Prabowo. Ditambah lagi “keberpihakan” lembaga MK terhadapnya.
Menurut saya, akan berbeda situasinya jika Gibran bukanlah putranya Jokowi.
Gibran, Gibran dan Gibran kini menjadi satu pilihan yang bisa mengunci pintu harapan cawapres lain yang memiliki kualitas dan elektabilitas. Gibran adalah “senjata” ampuh yang dijadikan serangan balik melawan putusan absurd tentang ambang batas 20 % yang dulu diteken PDIP, sebagai “Ibu kandung” jalan politik Gibran menjadi pemenang pilkada yang meloloskannya di timbangan MK.