Paradigma Kekuasaan Dan Eksistensi Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi

 

Paradigma Kekuasaan Dan Eksistensi Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi

“Dan ketika Rabmu berkata kepada para malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang khalifah di atas bumi. Para malaikat bertanya, “Apakah Engkau akan menempatkan di bumi orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan akan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa memujiMu dan menyucikanMu?”  (al Baqarah: 30)

Pada tahun 1762, Jean Jacques Rousseau menerbitkan buku ‘Du Contrat Social, Principes du droit politique’ (dalam bahasa Inggris, secara harfiah, The Social Contract, Principles of Political Right )

Rousseau memulai tulisannya di buku ‘Social Contract’  dengan frasa penting “Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana pun ia terikat.” Karena rantai ini tidak ditemukan dalam keadaan alami, mereka harus menjadi konstruksi konvensi. Karena itu, Rousseau mencari dasar untuk otoritas politik yang sah di mana orang harus melepaskan kebebasan alami mereka. Dia menetapkan dua syarat untuk pemerintahan yang sah dan menciptakan beberapa klausul untuk memastikan bahwa mereka dijalankan. Pertama, tidak boleh ada hubungan ketergantungan tertentu di negara bagian, dan kedua, dengan mematuhi hukum, seorang individu hanya menaati dirinya sendiri. Solusi Rousseau untuk masalah otoritas yang sah adalah “kontrak sosial,” sebuah perjanjian dimana rakyat bersatu untuk pelestarian bersama mereka. Tindakan asosiasi ini menciptakan suatu badan kolektif yang disebut “berdaulat.” Yang berdaulat adalah otoritas tertinggi di negara, dan memiliki kehidupan dan kehendak sendiri. Minat penguasa, atau “kehendak umum,” selalu mempromosikan kebaikan bersama. Ini berbeda dengan kehendak pribadi setiap warga negara, yang berjuang hanya untuk keuntungan pribadi.

Bertentangan dengan pandangan Rousseau, seorang pemikir politik asal Inggris Thomas Hobbes, menentang sistim demokrasi, apalagi semacam perjanjian seperti kontrak sosialnya Rousseau. Hobbes berpandangan bahwa hanya dalam kehadiran otoritas yang tersentralisasi sajalah prinsip- prinsip kehidupan masyarakat, prinsip moral, dapat dijaga dengan baik. Di sini Hobbes melihat kekuasaan absolut sebagai pengendali dan penentu kehidupan sosial masyarakat.

Kedua pandangan tersebut menunjukkan kontra pemikiran yang jika dilihat dari perspektif tujuan dan peran seorang pemimpin dalam menegakkan otoritas kekuasaan. Rousseau menempatkan kekuatan politik ada pada sebuah kesepakatan yang mengikat, sebuah kesamaan dalam memandang setiap aspek kepentingan hidup masayarakat. Sehingga dibutuhkan sebuah “kontrak”, antara penguasa dengan rakyat.

Sementara Hobbes sebaliknya. Ia terpengaruh dengan kondisi yang dialami semasa perang yang melibatkan pemerintahan Inggris, dan banyak memakan korban. Menurutnya itu akibat dari kurangnya otoritas penguasa dalam memberikan dan menciptakan pengawasan atas kemauan individu. Otoritas yang absolut dibutuhkan mutlak untuk mengendalikan sikap egois manusia yang cenderung merusak.

Manusia pada prinsipnya diciptakan sebagai penguasa, fitrahnya manusia diciptakan oleh Allah sebagai wakilNya di bumi (khalifah). Menjalankan proses kepemimpinan, menaklukan, menguasai, membuat berbagai hal untuk mempertahankan keberadaannya, menciptakan berbagai alat untuk menunjang kehidupannya, hingga memanfaatkan alam atau makhluq lain untuk kepentingan dirinya.

Baik Rousseau maupun Hobbes, percaya tentang keberadaan  “fitrah” manusia ini.  Rousseau berpandangan bahwa manusia dalam kondisi fitrah adalah sopan, berperilaku baik, berpikiran merdeka, dan mencintai perdamaian, namun masuarakatlah yang merusaknya. Menurut Rousseau, turunnya derajat manusia adalah ketika ia telah menjadi bagian dari sebuah masyarakat, dan melepaskan kemerdekaannya sendiri. Manusia sebagai individu tidak memilih untuk menyerang orang lain. Ia justru cenderung menghindar dari bahaya.  Manusia menjadi agresif, tempramen, ingin menyerang dan membunuh, dikarenakan pengalaman, kepentingan untuk pembalasan. Dan itu terjadi dalam interaksi kelompok, bukan individu. Karena sifat lahiriah (fitrah) manusia menurut Rousseau baik.

Sementara Hobbes berpandangan bahwa manusia secara inheren berdosa, dan pada dasarnya jahat. Manusia secara alamiah, inheren berada dalam cengkeraman dosa. Bahkan mengutip dari Zabur Daud “Sesungguhnya aku berdosa pada kelahiran, berdosa sejak ibuku mengandungku.” (Mazmur 51:6)

Paradigma Hobbes tentang fitrah manusia itu menjadi landasan munculnya pikiran-pikiran pesimistis dan antidemokrasi. Oleh karenanya ia berkeyakinan harus ada otoritas yang absolut yang mengontrol perilaku manusia melalui kekuasaan, meskipun dengan cara kekerasan.

Menurut pandangan Ayatullah Khomeini, baik perspektif Rousseau maupun Hobbes, masing-masing memiliki pendukung dan penentang. Manusia, menurut Khomeini, jika dibiarkan diri mereka tanpa ada hukum atau prinsip moral yang mengontrolnya, sungguh egoisme akan memengaruhi mereka untuk bersaing, menentang, dan pada akhirnya saling membunuh.

Kekuasaan, dalam artian kekuatan manusia untuk mengendalikan alam, mengendalikan kemampuan, dan bahkan mengendalikan sesama manusia, dititipkan oleh Allah SWT karena keistimewaan yang dimiliki manusia dibanding makhluq lainnya.

Pandangan tentang eksistensi manusia sebagaimana pandangan pesimistis Hobbes ataupun optimistis Rousseau, belum mewakili keseluruhan misi yang disematkan dalam tujuan penciptaan manusia. Pun tentang insting hewani manusia yang cenderung merusak seperti pandangan Sigmun Freud, baru sebatas satu sisi koin kemanusiaan yang belum menyempurnakan penilaian yang utuh terhadap jati diri manusia. Karena perjalanan hidup manusia amat berbeda dengan perjalanan kehidupan makhluq lainnya di bumi ini.

Dalam keberatan para malaikat tentang penciptaan manusia (Adam) oleh Allah pada ayat 30 surat al Baqarah di atas mengindikasikan dua hal: pertama, makhluq bernama manusia itu disebut oleh malaikat itu akan menumpahkan darah. Kedua: mereka (para malaikat) merasa lebih pantas menjadi wakil-wakil Allah di bumi daripada manusia. Dari kedua point ini, penting jadi perhatian adalah pandangan bahwa akan terjadi pertumpahan darah dan kekejaman-kekejaman yang akan dilakukan oleh manusia.

Allah SWT tidak lantas mengatakan, bahwa manusia tidak akan seperti yang malaikat sangka. Allah hanya  mengatakan Dia Maha Tahu apa yang para malaikat tidak ketahui. Namun Allah menguji kemampuan malaikat dibanding kemampuan manusia. Dan malaikat mengakui bahwa manusia, disamping punya kelemahan, juga punya kekuatan,  yang tidak Allah berikan kepada para malaikat.

Di sisi lain memang, manusia Allah sebutkan sebagai makhluq yang “zhalim lagi bodoh”. Seakan tidak ada sangkalan atas kekhawatiran para malaikat tersebut. Kemudian dari pernyataan Allah bahwa Dia Maha Tahu, sedangkan malaikat hanya tahu sedikit tentang rahasia penciptaan manusia, menunjukkan bahwa ada eksistensi lain dalam diri manusia yang menuntut para malaikat tunduk kepada perintah Allah ketika diminta “bersujud” sebagai tanda pengakuan eksistensi lain dari keunggulan Adam dibanding makhluq Allah lainnya.

Akar permasalahan yang diperselisihkan antara Rousseau dan Hobbes terjawab oleh perspektif lain tentang eksistensi manusia pada rincian kisah Adam, mulai dari ujian Allah, pembangkangan Iblis, perintah dan larangan Allah kepada Adam, godaan Iblis, hingga diusirnya Adam dan Hawa dari “surga”, kemudian mereka berhasil  meraih ampunan Allah dengan bertobat, dan Allah menerima tobat mereka.

Sifat kepemimpinan manusia yang disebutkan dalam konteks wakil Allah di bumi, menunjukkan bahwa disamping manusia memiliki sikap-sikap alamiah, insting yang melekat dalam jiwa hewaniyahnya, yang menurut Sigmun Freud “ adalah insting pembinasaan”, namun ada hal lain yang istimewa dan tidak dimiliki malaikat maupun Iblis, “saingan” Adam saat awal mula penciptaan, yaitu “fitrah”. Melalui fitrah Allah-lah manusia menemukan jati diri lain yang membedakannya dengan makhluq-makhluq Allah lainnya, baik di langit dan bumi. (Pembahasan tentang fitrah akan saya tuliskan di artikel berikutnya).

Fitrah dan watak kesempurnaan manusia melengkapi  tugas mulianya sebagi wakil Allah di bumi. Pertumbuhan dan perkembangan, serta insting mempertahankan hidup mendorong manusia untuk mengatasi kesulitan dengan insting hewaninya, juga termasuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan alamiahnya. Manusia tidak berbeda dengan hewan. Pada eksistensi lainnya, kemampuan manusia untuk keluar dari egosentrisnya menuju keunggulan diri, menapaki jalan kesempurnaan Ilahiah adalah point lain yang sangat rahasia, dan oleh karena itulah manusia diberi petunjuk dari Zat Yang  Maha Mengetahui.

[BungRam-Nov-15-20]

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Welcome to WordPress. This is your first post. Edit or delete it, then start writing!

Add Your Heading Text Here

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *