Politisi Pembohong dan Keruntuhan Demokrasi
Politisi Pembohong dan Keruntuhan Demokrasi

“A lie doesn’t become truth, wrong doesn’t become right and evil doesn’t become good, just because it is accepted by majority.”
Pada tahun 2016, ramai sebuah istilah dalam dunia politik internasional dan dijadikan “word of the year” oleh kamus bahasa Inggris oxford, yaitu kalimat “post truth”. Karena kata tersebut begitu banyak digunakan oleh umat manusia, terlebih pada peristiwa terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit). Pada kedua momen itu, berita hoax (bohong) dengan sangat mudah disebarkan kepada masyarakat luas dan mempengaruhi opini publik.
Politik ‘post truth’ menurut para pengamat adalah sikap politik yang memiliki ciri para pegiat terus mengulangi poin-poin pembicaraan mereka, bahkan ketika media, poitisi, aktivis di lapangan yang mempertanyakan hal yang disampaikan itu, dan yang lain memberikan bukti yang bertentangan dengan poin-poin pembicaraannya.
‘Post truth’ secara definisi berarti pasca kebenaran. Dikaitkan dengan aktifitas politik, disebut juga politik pasca-faktual dan politik pasca-realitas, adalah budaya politik di mana perdebatan dibingkai sebagian besar oleh daya tarik emosi yang terputus dari perincian kebijakan , dan oleh pernyataan berulang dari poin pembicaraan yang bantahan faktualnya diabaikan.
Politisi melakukan tindakan kebohongan adalah bagian dari upaya untuk memenangkan ‘pertarungan’. Politik kebohongan memiliki dua keuntungan, pertama kebohongan diramu dalam bentuk informasi yang nampak fakta dengan bantuan nukilan-nukilan berita tentang lawan politiknya, disebarkan melalui saluran-saluran media sosial pendukungnya, dan berakhir dengan opini publik yang dianggap nyata. Kedua, kebohongan kecil dari fakta yang diputarbalikkan melalui media, diulang-ulang dan dinarasikan dengan rapih terintegrasi dengan beberapa fakta, maka orang akan menganggap itu bukan kebohongan, sehingga sulit dijadikan bahan berkonsekwensi hukuman. Karena jika itu didebatkan secara ilmiah, sebagaimana Donal Trump lakukan terhadap lawan politiknya dan publik Amerika pada umumya, ia tidak bisa dikatakan sebagai sebuah kejahatan. Komunikasi politik menggeser nalar dan emosi lewat politik pasca kebenaran.
Ketika manusia hidup di dalam kebohongan dan menganggap hal tersebut tidak lagi sebagai masalah besar. Bisa dikatakan bahwa era post-truth melahirkan suatu banalitas kebohongan yang membuat akal budi manusia kesulitan untuk melihatnya secara jelas. Ruang publik masyarakat modern tidak lagi kondusif untuk menyingkirkan kebohongan dan memeluk kebenaran. “Cakar” era post-truth semakin lama semakin kuat tertanam dalam diri setiap manusia tanpa batas negara ataupun kebudayaan, terlebih karena dibantu penyebarannya lewat media sosial dan internet.
Tinggalah demokrasi sebagai ciri peradaban negara modern memasuki waktu keruntuhannya. Kita akan mengenal demokrasi sebagai sebuah ‘paket’ yang enggan dibuka karena hiruk pikuk kehidupan jauh lebih menarik perhatian melalui perang kebohongan para politisi. Keuntungan yang dikalkulasi melalui politik pasca kebenaran lebih menarik daripada paket demokrasi tadi.
Kini kita hanya bisa berupaya merekonstruksi nalar kritis kita di tengah kuatnya arus kebohongan politisi. Kita perlu menempatkan dan me-reset cara kita melakukan interaksi sosial via media sosial, cara kita memandang internet dan komunikasi digital lainnya. Banyak orang merumuskan internet sebagai suatu realitas, atau di banyak kajian digunakan istilah hyper-reality. Akibatnya, banyak orang merasa bahwa media sosial online merupakan komunitas global di mana manusia berinteraksi dan juga saling membentuk persepsi. Dan akhirnya perlu diakui rekonstruksi nalar manusia pada era pasca kebenaran bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini berkaitan dengan kesadaran dan penyadaran bersama. “Racun” kemudahan yang ditawarkan oleh internet tampaknya sudah begitu kuat merasuki kehidupan manusia pada masa ini, di alam demokrasi ini. Bagaimana kekuasaan mengatahkan opini? Bagaimana kekuasaan mengatur chanel hukum negara demi kepentingan sesaat? Dan akhirnya bagaimana keruntuhan nilai demokrasi kita susun kembali puing-puingnya?
[BungRam-April-08-20]
Bagikan supaya bermanfaat
Explore

Problematika literasi masyarakat, akar masalah dan tantangannya
Masih banyak masyarakat dengan literasi rendah. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka buta aksara dan rendahnya tingkat literasi masyarakat. Indonesia adalah negara dengan tingkat literasi yang rendah.

Negeri Bobrok: Ketika Hukum Bisa Dibeli dan Korupsi Merajalela
Ketika pemimpin lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kesejahteraan rakyat, hukum menjadi alat penindasan, dan korupsi merajalela, maka kehancuran sebuah bangsa tinggal menunggu waktu. Bagaimana peran masyarakat, pendidik, dan tokoh agama dalam melawan sistem yang korup? Ataukah kita hanya akan menjadi penonton dalam kebodohan yang sengaja dipelihara?

Peran Pendidikan dalam Mendorong Ekonomi Kreatif di Era Digital
Pendidikan memainkan peran krusial dalam membentuk individu yang siap menghadapi era ekonomi kreatif. Dengan mengintegrasikan teknologi, kreativitas, dan pemecahan masalah ke dalam kurikulum, pendidikan dapat mencetak tenaga kerja yang adaptif dan inovatif dalam menghadapi tantangan industri modern.

Kemendikbudristek Kejar Sertifikasi 1,2 Juta Guru di Tahun 2025
Jumlah guru yang belum tersertifikasi sebanyak 1,6 juta. Namun dari data tersebut yang masuk kriteria menjadi PPG hanya ada 1,2 juta, karena sisanya ada yang belum menamatkan jenjang pendidikan S1.
Ada 589.589 guru sudah lulus menjadi PPG, sedangkan sisanya yaitu 713.582 guru masih belum mengikuti seleksi dan diharapkan pada tahun 2025 bisa mengikuti program tersebut.
Artikel Parenting

This is the heading

This is the heading

This is the heading
