Interpretasi Ajaran Agama dan Monopoli Kebenaran Atas Nama Tuhan 

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Interpretasi Ajaran Agama dan Monopoli Kebenaran Atas Nama Tuhan 

“The essence of all religions is one. Only their approaches are different”.

[Mahatma Gandhi]


Belasan tahun lalu, surat kabar dan media televisi dihebohkan oleh sebuah maklumat dari seorang yang mengaku tau kapan terjadinya hari kiamat. Kemudian melalui komunikasi persuasi dan semacam testimoni hasil tirakatnya, ia mengumumkan “berita” dari langit melalui Jibril bahwa atas perintah Tuhan, Jibril menjadikannya pembawa berita, mesias, dengan mengklaim dirinya mendapat wahyu untuk mendakwahkan sebuah aliran kepercayaan baru melanjutkan 3 Agama Samawi: Yudaisme, Kristen dan Islam. Ia juga mengklaim menyatukan agama-agama besar lainnya, termasuk Buddhisme, Hindu dan Jainisme. Tokoh kontroversial itu bernama Lia Aminuddin, kelahiran Jakarta 1947.


Yang menyebabkan Lia Aminudin, kemudian dikenal dengan sebutan Lia Eden itu mendapat sorotan, dan juga kecaman dari masyarakat hingga mengantarkannya ke balik jeruji besi adalah bukan hanya klaim yang ia lakukan lalu menjadi sebuah deklarasi berdirinya perkumpulan aliran baru dengan nama Salamullah, bahkan ia tidak ragu untuk mengatakan kelompoknya sebagai kelompok yang akan terselamatkan, kemudian penduduk Yerusalem. Namun juga karena Perempuan yang telah menetapkan dirinya sebagai titisan Bunda Maria ini, mengaku mengetahui dari wahyu Tuhan kapan terjadinya kiamat. Dan waktu itu menurut Lia bahwa kiamat akan terjadi pada akhir Mei 2015. Kemudian ia menyurati Gubernur DKI untuk minta izin pendaratan UFO di Monas yang akan mengangkutnya bersama para pengikutnya ke surga. Hingga bulan Juni 2015, ramalannya tentang kiamat tidak terjadi, dan kabar UFO yang akan mendarat di Monas juga hanya isapan jempol belaka.


Eskatologi semacam itu sudah beberapa kali terjadi dan diproklamirkan oleh orang yang mengaku mendapat “berita” dari Tuhan. Hal itu kemudian diikuti dengan statemen subjektif tentang peristiwa apokaliptik. Prediksi peristiwa apokaliptik yang akan mengakibatkan kepunahan umat manusia , runtuhnya peradaban , atau kehancuran planet ini telah dibuat setidaknya sejak masa tahun 60 – 70 SM. Sebagian besar ramalan berkaitan dengan agama-agama Ibrahim , yang sering berdiri atau mirip dengan peristiwa eskatologis yang diuraikan dalam tulisan suci mereka.


Penelitian kecil telah dilakukan mengapa orang membuat prediksi apokaliptik. Secara historis, ini dilakukan untuk alasan seperti mengalihkan perhatian dari krisis aktual seperti kemiskinan dan perang, mendorong agenda politik, dan mempromosikan kebencian terhadap kelompok tertentu; antisemitisme adalah tema populer ramalan apokaliptik Kristen pada abad pertengahan. Menurut para psikolog, penjelasan yang mungkin mengapa orang percaya pada ramalan apokaliptik modern termasuk secara mental mengurangi bahaya aktual di dunia menjadi satu sumber tunggal dan dapat ditentukan, daya tarik manusia bawaan dengan rasa takut, ciri-ciri kepribadian paranoia dan ketidakberdayaan dan romantisme modern yang terlibat dengan akhir -kadang karena penggambarannya dalam fiksi kontemporer.


Klaim dan keyakinan seseorang yang kemudian mendakwahkan keyakinannya hingga bereskalasi menjadi sebuah ajaran baru, atau bahkan keyakinan baru, sebagai upaya purifikasi, atau penentangan atas doktrin ajaran lama, memberikan banyak pengaruh terhadap cara berpikir. Bahkan memberikan semacam opsi atas keputus asaan yang dialami orang modern, atau orang terdidik sekalipun.


Pengetahuan manusia tentang hal-hal di luar jangkauan nalar sangat terbatas. Meskipun demikian, kejadian seperti peristiwa apokaliptik bisa diramalkan berdasarkan ilmu pengetahuan matematis atau astronomi, atau prediksi atas berbagai fenomena alam yang membentuk pola evolusi atas kehidupan di bumi. Tapi, membuat pernyataan yang didasari pengalaman spiritual secara personal menjadi sebuah narasi yang ditahbiskan sebagai sebuah kebenaran mutlak, adalah kekonyolan. Karena fakta sejarah telah menunjukkan orang-orang dengan delusi mesinisme atau mengaku sebagai orang yang disucikan oleh Tuhan dan mendapat mandat sebagai “juru selamat” sudah berulang dan terbukti kebohongannya. Bahkan meskipun orang tersebut mengangkat teks kitab suci sebagai rujukannya, dengan penafsiran yang dikehendaki sesuai kepengingannya, akan mengalami konfrontasi yang tidak sederhana dari kelompok lain yang merasa “tereliminasi” otentisitas doktrinnya karena kehadiran “utusan Tuhan” yang baru.


Kelompok-kelompok pemikiran atau agama, sesungguhnya tidak serta merta memiliki otoritas absolut terhadap penafsiran teks kitab suci. Yang secara sosial, sering berujung kepada pembenaran atas tindakan yang dilakukan, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai yang universal. Karena kepercayaan atau agama dijadikan alat untuk sebuah kepentingan yang bukan berorientasi kepada pelaksanaan pesan moral yang luhur dari ajaran agama.


Klaim sebagai kelompok yang paling benar, agama yang paling benar di sisi Tuhan, hingga klaim paling berhak masuk surga, sering bermetamorfosis menjadi tindakan anarkis. Padahal sejatinya tindakan yang dianggap ‘perintah’ Tuhan itu sangat rigid dengan pemahaman tekstual yang terbatas. Terbuka peluang untuk ditandingkan dengan penafsiran lainnya yang berbeda, sehingga melahirkan konsekwensilogis berbeda pula.

Al Quran, misalnya memberikan petunjuk yang cukup banyak tentang kebenaran di sisi Tuhan. Juga membuat narasi yang mengajak manusia berpikir tentang sebuah jalan mencapai kebenaran. Ada yang disebut “subulussalaam”, jalan-jalan menuju keselamatan, sebagaimana firman Allah dalam surat al Maaidah ayat 16:


“Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya kepada jalan- jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya dan menunjukkan ke jalan yang lurus.”


Ada banyak jalan menuju keselamatan, menuju keharibaan Tuhan. Dan hak prerogatif keamanan, kedamaian serta keselamatan umat manusia ada di sisi Allah. Manusia tidak berhak menetapkan bahwa hanya jalan yang ia tempuhlah merupakan jalan kebenaran menuju keselamatan dan keridhoan dari Allah SWT.


Menurut Charles Kimball hal itu bagian dari perwujudan keberagamaan yang fatal, dengan modus ‘ establishing the “ideal” time,’ membangun masa ideal. Aplikasinya bisa beragam. Pemeluk agama Yahudi ingin menjadikan tafsir kitab suci sebagai ketegasan Tuhan dengan mendirikan negara Israel dan menguasai Jerussalem. Gerakan Kristen di Amerika, the Moral Majority and Christian Coalition, berniat memberlakukan ajaran Tuhan sebagai hukum positif yang menjamin keteraturan hidup manusia.


Dan orang muslim memiliki fantasi utopis untuk mewujudkan kembali masa keemasan berupa negara Islam. Menurut Kimball, agama akan rentan manipulasi dan menjadi sangat berbahaya apabila pemeluknya merasa menjadi wakil Tuhan di muka bumi, lalu berusaha merumuskan gagasan struktur ideal tentang negara atas nama titah langit, padahal secara de facto pelaksanaannya tergantung pada ijtihad manusia.

Bagikan supaya bermanfaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *