Merdeka Belajar, Menghadirkan Pembelajaran Yang Bermakna
Merdeka Belajar, Menghadirkan Pembelajaran Yang Bermakna
“Mendidik adalah pekerjaan melakukan upaya yang kongkret dalam menghadirkan proses belajar yang berdampak dan bermakna bagi kehidupan”
Suatu waktu saya mengisi pelatihan daring dalam rangkain program Sekolah Penggerak, seorang kepala sekolah bertanya, “apakah perubahan kurikulum ini akan sama saja dengan kurikulum sebelumnya, kecuali merubah istilah adminitrasi dan menambahkan kegiatan Proyek Profil Pelajar Pancasila?”
Saya jawab, “yang penting dari perubahan kurikulum saat ini dengan mengusung istilah Kurikulum Merdeka, implementasi Merdeka Belajar, Program Sekolah Penggerak serta Guru Penggerak adalah; pertama, perubahan mindset segenap insan pendidikan di negeri ini tentang tujuan pendidikan, kedua perubahan paradigma berpikir tentang proses belajar, ketiga pemahaman yang utuh tentang pembelajaran bermakna.
Dalam konsep Merdeka Belajar keberadaan peserta didik sebagai pusat belajar, sebagai anak yang memiliki potensi dengan berbagai karakternya semestinya mendorong adanya perubahan cara berpikir dan cara pandang setiap orang tentang pendidikan. Administrasi boleh berubah, dan boleh seperti semula sebagai panduan pelaksanaan pembelajaran. Namun sejatinya guru tidak perlu terlalu pusing dengan format administrasi. Fokusnya haruslah kepada pelaksanaan pembelajaran yang bermakna, yang menempatkan peserta didik sebagai anak yang istimewa, yang dipersiapkan kemampuan dan keterampilannya sesuai dengan kebutuhan zaman.
Konsep “Merdeka Belajar” sebagaimana Nadiem Makarim jelaskan bahwa paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan. Hal ini karena konsep Merdeka Belajar sangat tepat dengan situasi sekarang ini. Sebab dalam konsep Merdeka Belajar terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran.
Narasi di atas perlu dipahami oleh setiap guru, kepala sekolah, pengawas, bahkan pejabat dinas Pendidikan, mulai dari tingkat kabupaten kota, provinsi dan pusat. Karena konsep merdeka belajar bukan “hal baru”, justru sistem Pendidikan selama ini cenderung bernuansa feodalistik.
Dalam tahapan pengenalan konsep “Merdeka Belajar” di kegiatan pelatihan, bimbingan teknis calon kepala sekolah, guru penggerak, serta pengawas sekolah yang akan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka akan disamakan visinya tentang filosofi Pendidikan dan tujuan Pendidikan yang diinsprasikan oleh Ki Hajar Dewantara; kemerdekaan dan kemandirian.
Sementara untuk menguatkan karakter peserta didik, permerintah menetapkan Profil Pelajar Pancasila sebagai tujuan pencapaian mutu jati diri seluruh siswa dalam menuntaskan proses Pendidikan selama 13 tahun, dari TK hingga SMA.
Apakah pesan substantif konsep “Merdeka Belajar” sudah dipahami dengan tuntas dan komprehensif oleh segenap guru dan insan Pendidikan? Di sini saya masih banyak mendapati fakta yang cenderung boleh dikatakan belum move on !
Urgensi perubahan kurikulum yang paling penting adalah mengejar ketertinggalan kualitas anak-anak Indonesia, mulai dari kemampuan belajar, kreatifitas dan kemampuan bersaing di era global secara inovatif. Hal itu banyak dikaitkan dengan kemerosotan motivasi belajar anak selama dua tahun diterpa pandemi Covid-19. “Learning loss”, istilah yang dipakai oleh Nadiem Makarim.
Secara teknis, menurut Nadiem saat ini program “Merdeka Belajar” sangat dibutuhkan. Lewat program ini anak-anak tak lagi harus terpaku pada kurikulum yang ada, tetapi bisa menggunakan cara belajar yang paling cocok. “Cocoknya kata merdeka, dengan merdekanya pemikiran anak-anak kita, biar mereka tidak bisa dijajah baik sosmed maupun orang lain,” tutur Mas Menteri.
Kesadaran mengubah mindset tentang tujuan Pendidikan.
Ki Hajar Dewantara telah menyatakan tentang tujuan Pendidikan, bahwa “Maksud Pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia, maupun anggota masyarakat.”
Itu adalah pandangan yang luhur dan sangat korelatif dengan kehidupan yang saat ini sedang berkembang. Tujuan Pendidikan memberikan porsi yang besar kepada pengembangan sumber daya manusia seorang anak. Kemudian mengembangkan kompetensi diri yang diharapkan dapat memberinya bekal hidup yang baik sebagai individu, maupun sebagai anggota msyarakat.
Dengan demikian, konsekwensilogisnya adalah Pendidikan, mulai dari tingkat PAUD hingga SMA, saat ini harus meletakkan pondasi utama proses pembelajaran di sekolah adalah penguatan potensi, jati diri, kodrat anak dalam istilah Ki Hajar Dewantara. Dan itu akan mengubah pola kegiatan di setiap tingkat satuan Pendidikan daripada pola yang dilakukan selama ini.
Pola yang telah dilakukan selama ini menurut saya adalah proses Pendidikan dan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah, mulai dari PAUD sangat cenderung berorientasi kepada pencapaian prestasi dan kemampuan akademik atau kemampuan kognitif sangat besar.
Hal itu juga membuat para pendidik “terjebak” pemikiran yang menempatkan institusi Pendidikan sebagai sebuah Lembaga yang mempersiapkan anak didik untuk bersaing, berkompetisi bahkan melakukan segala hal untuk meraih prestasi belajar.
Tujuan Pendidikan dengan mindset yang lama bahwa:
- Pendidikan bertujuan untuk mencapai kehidupan sejahtera berdasarkan standar pekerjaan tertentu dengan pendapatan tertentu.
- Proses kegiatan belajar bertujuan untuk menguasai berbagai kompetensi ajar yang telah ditetapkan, maka indicator pencapaian tujuannya adalah penguasaan berbagai komepetensi ajar tersebut.
Nah dalam beberapa diskusi, terkait implementasi Kurikulum Merdeka ini, pemahaman guru yang sebagian mulai mengimplementasikan Kurilum Merdeka di sekolahnya masing-masing, baik secara resmi karena masuk ke dalam program sekolah penggerak, maupun secara mandiri, masih banyak yang terjebak dengan mindset dan pola belajar yang lama.
Sehingga apa yang dimaksud dengan tujuan Pendidikan dalam implementasi Kurikulum Merdeka ini masih belum banyak bergeser atau berubah paradigmanya.
Di antara indikator implementasi kurikulum baru dengan mindset tujuan Pendidikan lama ialah:
- Masih banyak yang berfokus kepada nilai akhir pembelajaran saat menentukan asesmen, bukan kepada bagaimana proses belajar terjadi, penanaman values dan kompetensi dilaksanakan.
- Kesempatan belajar di jenjang pendidikan tinggi masih berdasarkan seleksi nilai akademik. Sehingga membuat pola belajar di jenjang menengah masih cenderung konvensional dan belum memfasilitasi semua kondisi peserta didik dengan karakteristiknya masing-masing.
Perlunya perubahan paradigma berpikir tentang proses belajar
Sebagaimana kondisi dengan fakta pertama tersebut di atas, di mana orientasi pendidikan masih terjebak kepada tujuan penguasaan kompetensi kognitif semata. Belajar di sekolah, di kelas-kelas, masih dilaksanakan dengan model instruksional yang mengharuskan peserta didik mengikuti gaya belajar guru, berpusat pada teks panduan serta buku ajar yang dibuat berdasarkan pemikiran kerangka kurikulum lama, hanya saja istilahnya diubah menyesuaikan format kurikulum merdeka.
Di situ nilai “merdeka” tidak muncul dan terfasilitasi dengan baik. Karena gurunya tetap menjadi instruktur dan pusat tunggal kegiatan belajar.
Paradigma ‘Merdeka Belajar’ seharusnya menempatkan peserta didik sebagai pusat pembelajaran, ‘student centered learning’. Dari situ mindset perubahan kurikulum dan sistem pendidikan bisa ditemukan substansinya. Namun mindset Sebagian guru masih belum beranjak.
Salah seorang peserta webinar implementasi Kurikulum Merdeka menyebutkan pandangannya bahwa dengan diberlakukannya jenjang fase pada satuan Pendidikan mulai dari PAUD hingga SMA melalui capaian pembelajaran yang ada, mereduksi kualitas pembelajaran. Karena menurutnya anak-anak jadi terlalu lama masa penuntasan “Kompetensi dasar”. Yang sebelumnya ditempuh selama 1 tahun, sekarang bisa ditempuh lebih Panjang, satu fase 2 tahun untk siswa SD. Lalu ada penggabungan satu fase saja di tingkat SMP, sehingga terkesan muatan belajar lebih sedikit.
Pandangan tersebut menggambarkan pemikiran bahwa yang terpenting dalam kegiatan belajar siswa itu adalah menuntaskan puluhan Kompetensi dasar dalam dua semester, indikator pencapaiannya kemudian disusun dengan batasan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Pada kurikulum merdeka, konsep ‘Merdeka Belajar’ menggambarkan sebuah upaya dalam menjalankan proses Pendidikan dan pengajaran yang ‘berpusat pada murid’, sudent centered learning. Maksudnya setiap peserta didik harus ditempatkan pada posisi yang paling prioritas. Guru dan perangkat ajar/buku bukanlah dua instrument yang paling menentukan kesuksesan belajar. Justru yang paling menentukan indikator suksesnya pembelajaran adalah capaian siswa terhadap komponen muatan pembelajaran berdasarkan karakteristiknya masing-masing, dan sesuai dengan kemampuannya masing-masing agar mereka terfasilitasi semua kebutuhan tumbuh kembangnya, sebagaimana filosofi dan tujuan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara.
Guru harus memiliki pemahaman yang utuh tentang pembelajaran bermakna
Perbedaan mendasar konsep ‘merdeka belajar’ dengan konsep belajar sebelumnya (sangat hierarkis), adalah dalam hal kontekstualisasi ilmu pengetahuan dengan keterampilan dan pengalaman hidup.
Ketika dulu anak-anak begitu tertekannya belajar bertahun-tahun hanya untuk melewati masa “tiga hari” yang menegangkan di penghujung tahun terakhir setiap jenjang, kinipun walau Ujian Nasional sudah ditiadakan. Banyak saya temukan guru-guru yang menciptakan suasana belajar kurang menyenangkan.
Alih-laih fokusnya mencapai capaian pembelajaran yang ditunjukkan dengan kemampuan diri dalam mengkontekstualisasikan pengetahuan dengan kehidupan nyata, fasilitasi proses ekpresi diri dan penggalian potensi, para guru menampilkan suasana belajar yang lebih serius, bahkan diberitakan pernah ada yang menuai protes orang tua siswa yang mendapati anaknya belajar di sekolah terlalu lama. Karena kini di kurikulum merdeka ada muatan yang Bernama Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Jadi realisasinya konsep merdeka belajar itu berada pada bagaimana suasana belajar siswa yang merdeka dalam melakukan ekspresi yang natural, kesediaan guru “melayani” murid dan mengahdirkan pengalaman belajar yang relevan dengan kehidupan. Itulah belajar yang bermakna.
[RAM-Des-31-2022]
Bagikan supaya bermanfaat
Explore
Inilah yang perlu Anda ketahui tentang tes IQ
Ide tes IQ dimulai pada awal tahun 1900-an, berkat dua psikolog Perancis, Alfred Binet dan Theodore Simon.
Dalam tes IQ, ada beberapa komponen kunci yang membantu memberikan gambaran lengkap tentang kecerdasan seseorang.
Penelitian menunjukkan bahwa genetika dan lingkungan berperan besar dalam membentuk IQ.
Memahami Down Sindrom pada Anak: Tips untuk Orang Tua
Down Sindrom, atau yang dikenal juga sebagai trisomi 21, adalah kondisi genetik yang terjadi akibat adanya salinan ekstra dari kromosom 21. Anak dengan Down Sindrom memerlukan perhatian khusus dalam pengasuhan. Mereka mungkin mengalami keterlambatan dalam perkembangan, tetapi dengan dukungan yang tepat, mereka dapat belajar keterampilan sosial, motorik, dan bahasa.
Keberadaan Hutan Hujan Tersembunyi di Indonesia
Hutan hujan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Mereka berfungsi sebagai penyerap karbon, membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Menurut data dari World Resources Institute, hutan hujan tropis menyerap sekitar 1,1 miliar ton karbon dioksida setiap tahun.
Kemendikbudristek Kejar Sertifikasi 1,2 Juta Guru di Tahun 2025
Jumlah guru yang belum tersertifikasi sebanyak 1,6 juta. Namun dari data tersebut yang masuk kriteria menjadi PPG hanya ada 1,2 juta, karena sisanya ada yang belum menamatkan jenjang pendidikan S1.
Ada 589.589 guru sudah lulus menjadi PPG, sedangkan sisanya yaitu 713.582 guru masih belum mengikuti seleksi dan diharapkan pada tahun 2025 bisa mengikuti program tersebut.