Islam Sebagai Doktrin Ketulusan 

Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Islam Sebagai Doktrin Ketulusan 

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.”

(HR. Muslim) 

Kata “nasihat” dalam kutipan hadits di atas adalah bermakna “ketulusan”. Dalam istilah bahasa Arab, kata ‘nasihat’ berakar dari kata ‘nasoha’, yang berarti ‘shofaa’, kholaso’, artinya jernih, bersih.

Hadits itu menjelaskan tentang bagaimana agama menjadi pedoman pemeluknya dalam berinteraksi dengan Allah, kitabNya, nabi dan rasulNya, para pemimpin kaum muslimin, dan seluruh umat Islam.

“Nasihat” kepada Allah artinya mengimaniNya dengan segenap hati yang bersih, ikhlas dan penyerahan diri secara totalitas. “Nasihat” kepada kitabNya artinya mengimani kitab dari Allah sebagai petunjuk, memahaminya dengan baik, menjalankannya, dan menjadikannya sebagai rujukan dalam menjalankan kehidupan. “Nasihat” kepada nabi dan rasul artinya percaya dan mengikuti ajakan, ajaran, perintah, dan meneladaninya, menghormatinnya dan mencintainya dengan ketulusan. “Nasihat” kepada para pemimpin muslimin artinya tulus dan patuh atas berbagai hal yang diatur dalam kepemimpinannya, selama tidak berlaku zalim. “Nasihat” kepada seluruh umat muslimin artinya menjaga kehormatannya, saling menolong dan menyayangi mereka dengan ketulusan.

 

Ketulusan berasal dari kata tulus, artinya kejujuran, kebersihan, dan keikhlasan. Ketulusan dengan keikhlasan dua kata dengan makna danntujuan yang sama. Yaitu bersih dari hal-hal lainnya. Ketika kita katakan “Aku tulus menyayangimu” maksudnya rasa sayang, perbuatan memberikan kasih, cinta kepada orang yang menjadi tujuan tidak diikuti atau dibarengi dengan hal lain yang menuntut imbal atau prakondisi.

Menurut Al Quran, para nabi dan rasul adalah mereka yang tulus ikhlas. Bebas dari segala hal yang mengotori atau merusak nilai perbuatan mereka. Bebas dari hal-hal yang merusak fitrah kemanusiaan.

Semua manusia yang beragama diperintahkan oleh Tuhan untuk berhati tulus dalam menyembah Tuhan, tidak mensekutukanNya, berusaha memahami dan mendalami ajaran agamanya dengan baik, supaya mencapai kebenaran yang sempurna.

Dalam surat al Bayyinah ayat 5 Allah SWT berfirman:

“Dan mereka tidak diperintahkan melainkan hanya menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

Ini adalah dasar dari doktrin agama samawi: hanya menyembah Tuhan saja, mengabdikan agama kepadanya, menjauhi perbuatan mensekutukanNya dengan apapun. Itulah agama yang lurus, keyakinan yang tulus dalam jiwa, serta kepercayaan murni pada hati nurani.

Siapa pun yang memenuhi aturan ini, telah mencapai iman sebagaimana diperintahkan juga sebelumnya kepada Ahli Kitab, para pemeluk agama monoteisme sebelum Islam. Doktrin ketulusan adalah sebuah doktrin yang tidak menuntut pemisahan atau ketidaksepakatan, doktrin yang tidak ada ruang di dalamnya dualisme keyakinan tentang pengabdian. Oleh karenanya ketulusan menjadi perangkat yang menguatkan jati diri manusia, setelah penyerahan dirinya secara totalitas, penghambaan dirinya secara utuh hanya kepada Tuhan yang satu, yaitu Allah SWT.

Ada dua hal yang perlu dipahami dalam hal ketulusan yang menjadi awal dari segalanya, yaitu : Pertama, mengembalikan pemahaman tentang segala aktivitas kehidupan. Baik aktivitas hati, lisan, tulisan, dan semua aktivitas lainnya harus bermakna ibadah. Sesuai dengan definisi dari Ibnu taimiyyah : “Ibadah adalah suatu ungkapan yang mencakup seluruh perbuatan hati, dan anggota badan yang diridloi dan dicintai oeleh Allah SWT. Baik lahir maupun batin”.

Kedua, Memurnikan niat semata karena Allah sampai pada tingkatan ikhlas haqiqi, sehingga bersih dari riya (ingin dilihat) dan sum’ah ) ingin terkenal). Allah SWT.

Keberagamaan menjadi fenomena praktik sosial yang destruktif atas kemurnian doktrin ajaran agama itu sendiri melalui aksi atau reaksi negatif yang merujuk kepada simbol atau istilah dalam ajaran agama (yang kebanyakan dipahami dengan sempit, bahkan dipahami dengan keliru).

Apa pun hasilnya, semua itu hanya merugikan umat beragama. Selain memang tak sesuai atau bertentangan dengan nilai dan ajaran agama, memperalat agama, politisasi agama, atau apa pun namanya, hanya akan mengerdilkan umat beragama. Misi agama mendewasakan manusia, menjadikan manusia yang arif dan bijak, serta mengantarkan manusia bahagia di dunia dan alam eskatologis nyaris dipastikan tak akan pernah berwujud.

Jika kita menyaksikan moralitas agama yang menggejala akhir-akhir ini, kekurangtulusan beragama merupakan aspek yang sama sekali tak bisa diabaikan. Kalau mau jujur, kita—atau sebagian dari kita—belum sepenuhnya tulus dalam beragama. Padahal, inti beragama senyatanya ada pada ketulusan. Beragama secara hakiki adalah penyerahan total kepada Sang Pencipta, bukan pengerdilan nilai yang dipahami oleh kita dengan pemahaman yang sempit, sehingga kita jadi arogan, riya, dan bahkan berbuat zhalim atas nama agama.

“Sesungguhnya hamba yang dicintai di sisi Allah adalah yang mencintai Allah lewat hamba-Nya dan mencintai hamba Allah karena Allah. Di muka bumi, ia pun memberi nasihat kepada lainnya.” (Hasan al Bashri – Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam)

Bagikan supaya bermanfaat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *