#4 Tentang Pendidikan Yang Memanusiakan (bagian pertama)
Kultigraf #4 Tentang Pendidikan Yang Memanusiakan (bagian pertama)
Saat SMA dulu saya sudah diperkenalkan dengan materi pembelajaran tentang teori ilmu pedagogi. Bahasan pertama yang saya terima dari guru saya adalah tentang makna pendidikan – tarbiyyah. Kebetulan materi ajar disampaikan dalam bahasa Arab dan juga buku teks ajarnya berbahasa Arab. Saya diajarkan tentang konsep pendidikan (tarbiyah) dan perbedaannya dengan pengajaran (ta’lim). Dari definisi pendidikan oleh Herbert Spencer yang berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah bagaimana mendidik dan mengajarkan siswa untuk dapat hidup dengan sempurna. Spencer sangat menekankan kepada sains sebagai pengetahuan yang penting dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian definisi dari Johann Heinrich Pestalozzi yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak agar saat dewasa ia bisa menolong dirinya sendiri. Dalam menyiapkan hal tersebut, maka pembelajaran yang dilakukan harus sesuai dengan potensi yang dimiliki anak dan sesuai dengan tahap perkembangannya. Lalu konsep pendidikan menurut Friederich Wilhelm August Fröbel yang berpandangan bahwa pendidikan diibaratkan sebagai taman, di mana anak-anak tumbuh dan berkembang secara wajar, Apabila anak mendapatkan pengasuhan yang tepat, maka seperti halnya tanaman muda akan berkembang secara wajar mengikuti hukumnya sendiri. Saya memilih istilah pendidikan yang memanussiakan, pada konsep tarbiyyah yang sebagian definisinya saya kutip dari filosof dan tokoh sosial, pendidikan tersebut itu.
Puluhan tahun setelah saya belajar ilmu pendidikan di kelas 2 SMA tersebut, sambil berjuang untuk memahami kosa kata bahasa Arab yang disampaikan oleh guru saat itu, kini jalan yang saya lalui menemukan titik-titik yang saling terhubung. Saya merangkum kesimpulan dari yang saya baca tentang beberapa point istimewa pidato Steve Jobs di Stanford University tahun 2005, bahwa saya waktu belajar tentang tarbiyyah di bangku kelas di lembaga pesantren yang kelasnya kini nampak masih sama seperti waktu itu, tidak menyadari dan tidak pernah menduga satu momen itu akan terhubung kemudian dengan momen-momen yang lain dalam perjalanan hidup saya hingga kini. Saya tidak bisa membuat hubungan satu titik ke titik lainnya untuk masa depan saya. Namun pelajaran tentang konsep pendidikan saya dapati, saya sadari, bahkan saya menemukan banyak ttitik yang banyak terhubung jika saya coba buat ilustrasi alur perjalanan hidup saya, khususnya ketika saya mulai memutuskan bahwa saya akan memilih ‘pendidikan’ sebagai konsentrasi saya dalam karir.
Pendidikan, atau konsep pendidikan yang saya dapat waktu itu lewat buku teks tipis berjudul ‘at tarbiyyah wat ta’liim’, ditulis oleh (Allah Yarham) Kiyai Imam Zarkasyi menjadi titik awal garis yang mengubungkan berbagai pengalaman saya di dunia pendidikan. Meski pada akhirnya saya terpaksa harus mengkritik praktik pendidikan dan pengajaran yang dijalankan oleh lembaga almamater saya sendiri, karena beberapa titik kemudian spektrumnya semakin meluas dan membukakan saya tabir ketidaksinkronan antara yang diceramahkan guru pengajar pelajaran tarbiyyah di lembaga pesantren itu dengan praktik yang dijalankannya. Maksudnya, sebagaimana definisi tarbiyyah dan tujuan tarbiyyah yang dikutip dalam kitab wajib santri kelas 3 saat itu justru tidak terimplementasikan secara kongkret dan proporsional di lingkungan pesantren. Pesan substanstif Pestalozzi maupun Froebel tentang pendidikan tidak dijadikan kerangka cara mendidik yang modern di lingkungan asrama. Ini mungkin santri yang pernah belajar teori pendidikan di sana kemudian jadi guru pengajar materi tarbiyyah masih terperangkap dengan praktik belajar yang sangat kental dengan model menghafal daripada menalar dan mendapat kesempatan belajar lebih luas daripada ‘hafalannya’ pa ustadz sebelumnya. [R-20012023]
Bagikan supaya bermanfaat
Pendidikan
Kepala Sekolah merupakan sosok penggerak utama dalam satuan pendidikan. Ia adalah pemimpin lembaga dan organisasi, sekaligus pemimpin pembelajaran yang menggerakkan.
Guru dalam proses pendidikan di abad 21 ini perlu upaya yang lebih serius, diamis, kritis, adaptif dengan perubahan, serta jauh melompat seiring perkembangan teknologi informasi berbasis digital.
Keterampilan mengatur waktu perlu dilatih sejak anak mulai belajar di level pra-sekolah. Umumnya di rumahpun para orang tua menerapkan disiplin waktu dalam beberapa aktifitas, seperti mandi, makan, tidur, waktu menonton TV dan bermain.
Salah satu penyebabterjadi bullying oleh guru di sekolah adalah saat guru lebih mengutamakan punishment daripada proses lainnya serti self evaluation atau menumbuhkan pola komunikasi positif diantara murid.