Negeri Bobrok: Ketika Hukum Bisa Dibeli dan Korupsi Merajalela

“A nation will not survive morally or economically when so few have so much, while so many have so little.” – Bernie Sanders
Sebuah bangsa yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan justru terpuruk dalam kebobrokan ketika pemimpinnya lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat. Korupsi merajalela di berbagai sektor, menjalar layaknya penyakit kronis yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara. Kebijakan yang seharusnya dibuat demi kepentingan publik justru sering dimanipulasi untuk menguntungkan segelintir elit yang haus kekuasaan dan kekayaan. Alih-alih berjuang untuk kesejahteraan rakyat, para pemimpin lebih sibuk mengamankan posisi dan memperkaya diri mereka sendiri.
Hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru menjadi alat penindasan bagi mereka yang lemah. Ketika hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, rakyat kecil dengan mudah dikriminalisasi sementara para pejabat tinggi yang jelas-jelas korup dapat melenggang bebas. Keadilan menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi sering kali menguap begitu saja atau berakhir dengan vonis ringan, jauh dari rasa keadilan yang seharusnya ditegakkan.
Para penguasa yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru kerap melacurkan diri kepada pengusaha besar. Kongkalikong antara pemerintah dan oligarki ekonomi semakin mengukuhkan sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Regulasi dan kebijakan dibuat bukan untuk kesejahteraan publik, tetapi demi melayani kepentingan segelintir orang yang mampu membeli kekuasaan. Kontrak-kontrak besar, proyek infrastruktur, hingga sumber daya alam dikuasai oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki hubungan erat dengan penguasa, sementara rakyat hanya menjadi penonton di tanah mereka sendiri.
Pertanyaan Refleksi
Kepada seluruh masyarakat:
- Sampai kapan kita mau tunduk dan membiarkan kebobrokan ini terus berlangsung?
- Apakah kita akan terus memilih diam dan menikmati kebodohan yang sengaja dipelihara oleh segelintir orang
Kepada para praktisi hukum:
- Apakah nurani Anda masih tergerak untuk menegakkan keadilan, atau sudah mati terbungkus dalam kepentingan kekuasaan dan uang?
Kepada para pendidik:
- Apakah pendidikan yang kita berikan benar-benar membangun kesadaran kritis, atau justru ikut melanggengkan sistem yang menutup mata generasi muda dari realitas yang ada?
Kepada tokoh agama:
- Di mana suara Anda ketika ketidakadilan merajalela?
- Apakah agama hanya sekadar ritual, atau seharusnya menjadi kekuatan moral yang berani menentang tirani?
Jika rakyat masih terus menikmati kebodohan yang dipelihara oleh segelintir orang, maka tidak ada harapan bagi bangsa ini untuk bangkit. Kita akan terus hidup dalam lingkaran setan korupsi, ketidakadilan, dan kemiskinan yang diwariskan turun-temurun. Negeri ini tidak akan pernah berubah jika masyarakat tetap diam, apatis, dan lebih memilih mencari kenyamanan pribadi daripada berjuang untuk kebaikan bersama. Ketika kebenaran bisa dibeli dan kejahatan justru dimaklumi, kehancuran bukan lagi ancaman, melainkan sebuah kepastian yang tinggal menunggu waktu.