Keragaman adalah Kehendak Tuhan
Dalam satu kutipan artikel Al Marhum Gus Dur pernah menjelaskan tentang ayat ‘wa lan tardha ‘ankal Yahuudu wa laan Nashara, hatta tattabi’a millatahum’. Kata Gus Dur, “Jelaslah orang yahudi dan nashrani itu tidak akan ridha sama kita karena orang islam itu datang dengan agama baru. Kalau seseorang datang dengan agama baru, dia tidak akan rela karena yang dia miliki kemudian diganti dengan yang baru. Itu sifat orang yahudi dan nashrani.
Justru, disitu ada mafhum mukhalafah, orang islam jangan seperti orang yahudi dan nashrani. Justru kita harus rela kalau orang lain berbeda dengan kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak ikut ajaran kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak satu paham dengan kita. Dan kalau kita tidak rela karena orang itu tidak sepaham dengan kita, (berarti) kita masih yahudi dan nashrani”.
Ungkapan ini menarik, selama ini kita memahami ayat tersebut dalam perspektif bahwa Yahudi dan nasrani benci terhadap Muslim sebagai sebuah agama yang dihadirkan menjadi kebenaran. Sehingga kita melihat bahwa faktor kebencian adalah benar salah, lalu ajaran yang disebut ajaran paling benar ini menjadi patron untuk mengasikan semua agama tanpa analisis obyektif. Bahkan tanpa melihat secara reflektif.
Kehendak Tuhan akan keragaman
Saya ingin sedikit mengomentari satu paragraf dari tulisan Kiyai Miftah Rakhmat itu dari perspektif ‘self evaluation’ atas pemahaman kita sendiri dalam kerangka pemahaman agama Islam secara internal. Maksudnya, senada dengan kerangka berpikir yang disampaikan secara implisit dari tulisan pak Kiayai Miftaf mengenai ‘Keberagaman’ itu, perkembangan pemikiran Islam dari zaman ke zaman memiliki corak dan menimbulkan beragam pemahaman yang berbeda, begitu seterusnya.
Al-Qur’an pada umumnya hanya dianggap sumber hukum dalam bahasa Arab asli, tapi di sisi lain menunjukkan bahwa Tuhan menghendaki manusia berbicara dalam banyak bahasa lain dan hidup dalam budaya yang berbeda, sebagaimana yang disebutkan dalam surat Ruum ayat 22: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.
Ayat tersebut memberikan gambaran yang eksplisit bahwa umat manusia tidak hanya ditakdirkan untuk hidup sebagai bangsa yang beragam, namun kita sebagai manusia harus menyambut hal ini dan secara aktif berusaha memahami orang-orang yang berbeda dari diri kita. Pesan besarnya adalah tentang pluralisme.
Perjuangan kesetaraan dalam sejarah era modern
Pada 28 Agustus 1963 Martin Luther King menyampaikan pidato ‘I Have a Dream’, yang disampaikan pada saat Pawai di Washington. Seruan untuk kesetaraan dan kebebasan, menjadi salah satu momen menentukan gerakan hak-hak sipil dan salah satu pidato paling ikonik dalam sejarah Amerika.
Martin Luther King adalah aktivis yang menjadi juru bicara dan pemimpin gerakan hak sipil tahun 1954 sampai 1968. Ia dikenal karena menuntut hak sipil dengan cara non-kekerasan dan ketidakpatuhan sipil sesuai ajaran Kristen dan terinspirasi oleh aktivisme damai Mahatma Gandhi. Pesan pluralisme Martin ini secara substansi adalah konsep kesetaraan dan keberagaman dalam Islam.
Sejarah kemunculan ajaran Islam yanng dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, menjadi “ancaman” terhadap sistem sosial dan politik di masa Arab pra Islam itu, yaitu konsep kesetaraan. Arab yang waktu itu membagi klasifikasi sosial berdasarkan klan, suku, hingga yang paling fundamental adalah budak dan tuannya. Praktik itu kemudian dihancurkan yang secara simbolis Nabi demonstrasikan melalui aksi membebaskan dan memerdekakan Bilal bin Rabah lewat Abu Bakar dari tuannya Umayyah bin Khalaf.
Konteks kesetaraan dan keragaman dikuatkan oleh risalah dakwah nabi dan dalam berbagai kesempatan nabi menyampaikn ajaran Islam kepada seluruh manusia, mulai dari tanah Arabia hingga Persia.
Perkembangan keragaman dalam sejarah Islam
Para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in secara kontinyu melanjutkan konteks keragaman dan kemerdekaan dalam mengekspresikan ajaran Islam berdasarkan konteks kehidupan di berbagai wilayah. Hal itu karena Nabi Muhamamd SAW sendiri selalu menampilkan sikap yang bijak dalam melihat perbedaan pemahaman para sahabatnya. Fakta sejarah itu kemudian melahirkan perbedaan pandangan dalam menjalankan ajaran agama Islam (syariat) dengan munculnya disiplin ilmu fiqih.
Pada perkembangan berikutnya kita mengenal apa yang disebut ‘madzhab’, yaitu pandangan ulama yang bersumber Al-Qur’an dan hadis. ‘Mazhab’ berarti pandangan ulama terkait dengan kehidupan manusia yang bersumberkan dari Al-Qur’an dan hadis. Dengan perbedaan pandangan itulah kemudian agama Islam menjadi adaptif dan memberikan kontribusi besar perkembangan peradaban manusia pasca zaman kenabian.
Keragaman adalah keniscayaan yang diciptakan Tuhan sebagai bagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Allah. Keberagaman dapat dipahami sebagai konsekwensi dari fitrah penciptaan manusia yang diberikan akal, diberikan kemampuan memilih. Sejak awal diciptakan otoritas akal manusia diciptakan oleh untuk kemuliaan dan penghargaan atas akal. Sehingga di beberapa ayat, standar kemuliaan itu ada pada nilai ketaqwaan. Ketaqwaan dapat muncul dan diraih tanpa harus dikekang dan diatur sedemikian ketat oleh manusia lain. Karena akan menyebabkan munculnya kembali pola hubungan “hamba – tuan” dalam bentuk yang lain, yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan manusia di hadapan Tuhan.