Anak dan Informasi Visual Perang di Media Sosial
Anak-anak membutuhkan keterampilan literasi digital ketika dihadapkan pada konten media yang menggambarkan kekerasan atau kesedihan akibat perang.
Media sosial kini menjadi sumber informasi paling berpengaruh di tengah banjirnya berbagai informasi berbasis digital. Tak terkecuali informasi visual maupun audio visual tentang perang atau korban perang.
Dengan kemudahan akses media sosial, anak-anak dengan cepat mendapatkan berita tentang kejadian terkini, sehingga menempatkan mereka pada risiko misinformasi dan kesalahan persepsi tentang apa yang dilihatnya atau ditontonnya. Bahkan misinformasi itu dapat mendukungya untuk meniru tindakan kekerasan.
Gambar dan Video Seperti “berada di sana”
Dengan media sosial sebagai sumber berita utama, anak-anak kemungkinan besar akan melihat sesuatu yang meresahkan, menakutkan, membingungkan, atau sekadar salah, dan mereka tidak mampu mensikapi atau memahami konten tersebut tanpa dukungan. Terutama ketika “jurnalis warga” berbicara kepada pengguna media sosial dalam bahasa mereka sendiri—video visual yang terpotong dan diberi anotasi—hal ini menambah kredibilitas cerita mereka dan membangun tambal sulam makna dari potongan suara naratif yang berdurasi kurang dari satu menit.
Video yang beredar tentang konflik Israel-Palestina misalnya, telah ditonton miliaran kali. Mereka mengerikan, menakutkan, dan seringkali tergambar tanpa sensor. Hal itu tentu sangat berbahaya terhadap emosi dan perkembangan perilaku anak-anak.
Gambar atau video tersebur memiliki konteks spasial, menciptakan rasa kehadiran dan keterlibatan sosial, memperkuat reaksi emosional, dan meninggalkan kesan abadi karena dampaknya pada pusat emosi di otak.
Daya Tarik Perangkat Digital bagi Anak
Video yang menampilkan anak-anak muda yang berbagi pengalaman mereka di tengah reruntuhan dan pembantaian, ledakan, serangan bersenjata, dan korban sipil bisa sangat persuasif.
Rasa identifikasi dan keterhubungan yang dirasakan oleh pemirsa muda dengan pencipta yang menggunakan kamera untuk melakukan kontak mata virtual dapat memicu reaksi emosional yang kuat. Karena sifat perangkat digital secara pribadi menciptakan rasa keintiman dan bahkan daya tarik voyeurisme, yaitu ketertarikan atau merasa terangsang saat melihat atau mengamati seseorang yang sedang tidak berpakaian atau terlibat dalam aktivitas seksual, tanpa kecurigaan dari orang yang diamati tersebut.
Dengan melihat konten emosional yang dipadukan dengan ‘caption’ yang berlebihan menghasilkan video yang dapat memengaruhi keyakinan dan sikap tentang apa yang “sebenarnya terjadi”.
Emosi, Berbagi, dan Spiral Stres
Media sosial adalah pengalaman emosional. Selalu ada misinformasi di media. Namun bukan itu masalahnya. Membagikannya dan mempercayainya adalah inti masalahnya. Banyaknya disinformasi terkait perang Palestina-Israel, Perang Ukraina-Rusia, adalah cara lain untuk menciptakan ketakutan dan kebingungan serta semakin melemahkan kepercayaan terhadap informasi yang sebenarnya.
Dari meme hingga video yang sungguh-sungguh, reaksi emosional, baik humor , horor, kasih sayang, atau kemarahan, mengurangi pengawasan kognitif dan perdebatan balik serta meningkatkan perilaku reaktif dan impulsif. Dampaknya antara lain penyebaran konten yang tidak akurat dan menyesatkan tanpa meluangkan waktu untuk bertanya atau mengonfirmasi.
Anak-anak sering kali tidak memiliki kedewasaan, konteks, atau strategi penanggulangan untuk menangani respons emosional terhadap kekerasan yang nyata, apalagi memahami sifat konflik, konteks, atau potensi misinformasi. Hal ini tidak menghentikan mereka untuk penasaran dan mencari, meskipun hal itu membuat mereka kesal. Anak-anak sering kali juga takut untuk meminta bantuan orang tua, merasa bersalah dan takut tidak disetujui serta perangkatnya disita.
Persiapkan Anak-anak dengan Keterampilan Literasi Digital
Meski kita benci untuk mengakuinya, bahkan anak-anak kecil pun melihat konten yang sensitif di media sosial. Kita semua tahu. Anak-anak belum pantas menggunakan berbagai platform media sosial yang bukan untuk usia mereka, tapi mari kita menghadapi kenyataan ini; mereka disana. Bahkan bagi remaja, konten kekerasan dan ketakutan masih menyisakan banyak masalah, dan mereka tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
Lakukan percakapan yang terbuka, tenang, dan tidak menghakimi tentang konten media. Ini bukanlah hal yang bisa dilakukan satu kali saja. Idealnya, ini adalah pertukaran yang berkelanjutan (dan sesuai usia) yang dimulai saat mereka pertama kali mendapatkan perangkat digitalnya.
Fokus pada membangun ketahanan dengan menciptakan strategi pengaturan emosi. Jika anak-anak penasaran dengan perang tersebut, bicarakan tentang keterampilan pencarian dan kualitas sumber informasi, persiapkan mereka untuk mengantisipasi melihat hal-hal mengerikan sehingga mereka tidak terkejut.
Mintalah mereka untuk menunjukkan contoh dari apa yang mereka lihat sehingga Anda dapat mendiskusikannya (dengan tenang). Secara aktif menyentuh dasar kekerasan dengan menanyakan hal-hal seperti: “Tahukah kamu, beberapa orang sangat terganggu melihat video kekerasan, ketakutan, peperangan saat ini; terkadang gambaran itu benar-benar melekat padamu. Apakah kamu pernah mengalami hal itu?”
Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kritis
Diskusikan isu-isu seperti perang Palestina-Israel dengan mereka (dengan tenang). Biarkan mereka bertanya dan mendapatkan informasi dari sumber terpercaya agar mereka lebih memahami konteksnya.
Jelaskan bagaimana algoritma media sosial memengaruhi konten berita dan menyarankan opsi seperti menonaktifkan putar otomatis atau menetapkan batasan untuk menyaring konten ekstrem.
Ajak anak-anak untuk selalu menyikapi berbagai informasi tentang perang, korban perang, dan berbagai gambaran kekerasan di media sosial dengan memulainya lewat pertanyaan;
- dari mana sumber berita itu?
- siapa yang menyebarkan berita?
- mengapa itu bisa terjadi?
- adakah berita sejenis di sumber media lain yang dapat dijadikan perbandingan?
- apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan setelah mengetahui berita tersebut?
Dengan mengembangkan berbagai keterampilan bagi anak dalam menerima, melihat berita visual tentang kekerasan, perang, atau korban perang, itu memberikan semacam proteksi emosi dan kesehatan mental mereka.